Total Tayangan Halaman
Jumat, 15 Juli 2011
Tionghoa Indonesia di Masyarakat Indonesia
Setelah menonton acara Kick Andy di MetroTV yang berjudul: Aku orang Cina, saya yang juga salah satu orang Tionghoa di Indonesia menjadi berpikir, apakah diskriminasi masih terjadi pada orang Tionghoa di Indonesia? Saya bilang, hal itu sudah sangat berkurang dibanding ketika Orde Baru, ketika rezim yang berkuasa saat itu, rezim Soeharto, yang mulai berkuasa pada tahun 1966 setelah adanya "pemberontakan PKI" (yang sampai sekarang masih diperdebatkan apakah benar PKI memberontak atau hanya menjadi kambing hitam?). Saat itu, rezim Soeharto melarang segala hal yang berbau Cina untuk diselenggarakan, sehingga penggunaan bahasa Cina/Mandarin, pelaksanaan pesta tahun baru Imlek, pentas seni Barongsay, agama Cina: Konghucu, bahkan nama Cina, tidak boleh digunakan, sehingga orang-orang Tionghoa saat itu beramai-ramai mengganti namanya menjadi nama Indonesia, dan mengganti agamanya dari Konghucu yang saat itu tidak dianggap sebagai agama tapi hanya kepercayaan menjadi Kristen, Katolik, Budha, atau Islam. Orang-orang Tionghoa direpresi, ditekan sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dipersulit, contohnya terjadi pada penggunaan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang harus dimiliki oleh semua orang Tionghoa Indonesia pada masa itu, dan penyulitan dalam hal mengurus surat-surat resmi seperti KTP, KK, Akte Kelahiran dan lain sebagainya. Penyulitan itu terjadi dalam hal biaya yang berbeda dengan orang yang bukan Tionghoa dan dalam hal lamanya surat itu diproses. Orang-orang Tionghoa pun sulit sekali untuk masuk ke dalam pemerintahan, maksudnya untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil, menjadi tentara/polisi, menjadi anggota DPR/MPR, menjadi kepala pemerintahan seperti Lurah, Camat, Bupati, Gubernur dan itu membuat orang-orang Tionghoa sebagian besar, kalau tidak mau disebut hampir semua, berkecimpung di dunia perdagangan dan bisnis. Hal ini membuat orang Indonesia pribumi menganggap orang Tionghoa sebagai mengutamakan materi dan tidak mau membaur dengan orang pribumi. Saya pun sempat mengalami hal tidak mengenakkan waktu saya berumur 7 atau 8 tahun dan masih saya ingat sampai sekarang dimana saya dibilang "Cino wedhus" (bahasa Jawa) atau dalam bahasa Indonesia:"Cina kambing", waktu itu saya membalas dengan kata-kata, "kowe sing wedhus" atau "kamu yang kambing" setelah itu lalu kami pun bertengkar. Hal ini terjadi selama 32 tahun selama Orde Baru dibawah Presiden Soeharto berkuasa dan memuncak saat terjadi Kerusuhan Besar Mei 1998 yang waktu itu terjadi pemerkosaan terhadap puluhan perempuan-perempuan Tionghoa, pembakaran toko-toko dan tempat mencari uang orang Tionghoa, pembakaran dan penjarahan rumah-rumah orang Tionghoa dan dari demonstrasi mahasiswa, peristiwa itu menjadi salah satu gerakan anti-Tionghoa yang diorganisir secara rapi oleh seorang oknum yang menjadi otak, karena pada masa itu segala hal yang menyangkut kerusuhan Mei 1998 ini pun direpresi, semua saksi mata dibungkam, dari saksi mata-saksi mata yang menyaksikan langsung pemerkosaan pada perempuan Tionghoa yang tadinya berbicara bahwa mereka menyesal tidak menolong perempuan-perempuan tersebut dan suara-suara minta tolong perempuan-perempuan yang diperkosa tersebut masih terngiang di kepala mereka menjadi berbicara "lupa kejadiannya" yang mengindikasikan mereka diancam/dibungkam sehingga tidak berani mengungkap hal sebenarnya, yang berani berbicara dibunuh (seperti terjadi pada Ita Martadinata yang akan menyuarakan mengenai pemerkosaan perempuan Tionghoa Mei 1998 yang dibunuh), bahkan ada orang-orang kroni oknum tersebut yang dengan sistematisnya menyebut bahwa semua peristiwa itu tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi dan hanya karangan saja untuk menjelekkan oknum yang menjadi otak tersebut. Pedagang-pedagang Tionghoa dan pemilik-pemilik rumah serta korban perkosaan dari kalangan Tionghoa pun tidak ada yang berani untuk menuntut kepada negara karena negara gagal untuk memberi keamanan pada mereka, karena keamanan merupakan kewajiban negara kepada warganegaranya. Mereka beralasan takut dan juga tidak ada gunanya menuntut, hanya menghabiskan biaya saja tetapi tidak ada hasilnya. Mereka tidak pernah berpikir kalau bukan mereka siapa lagi yang peduli pada nasib mereka dan keadilan untuk mereka. Kalau ketidakadilan terus dipelihara, tidak akan ada keadilan yang bisa didapat, terutama untuk mereka. Tetapi setelah peristiwa Mei 1998 itu, diawali dari Presiden Habibie yang menghapus istilah non-pri dan pri, lalu turning point terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur (yang disebut sebagai Bapak Orang Tionghoa Indonesia) yang mengeluarkan Instruksi Presiden tentang boleh diadakannya lagi perayaan Imlek dan kebudayaan-kebudayaan Tionghoa. Lalu berlanjut pada masa pemerintahan Megawati dan SBY saat ini. Orang-orang Tionghoa pun mulai banyak terjun ke pemerintahan dan aktif di dalam pemerintahan RI, seperti menjadi Bupati, Gubernur dan terjun dalam berbagai hal yang dalam masa Orde Baru tidak mungkin terjadi. Semoga arah yang lebih baik ini berlangsung terus dan menjadikan orang Tionghoa Indonesia berguna bagi nusa dan bangsa Indonesia, karena orang Tionghoa Indonesia lahir, hidup dan mencari makan di Bumi Indonesia, karena itu selayaknya lah orang Tionghoa Indonesia turut serta membangun Indonesia, tidak hanya membangun bangunan dalam arti harafiah, namun juga membangun manusia Indonesia sehingga menjadi manusia unggulan yang bisa berbaur, bersanding, bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain di dunia dan tidak ketinggalan dari bangsa lain, serta untuk mencapai 5 sila yang ada pada Pancasila yang merupakan dasar dari negara Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar