Berjibaku dengan Penyakit Langka Miastenia Gravis
Merry Wahyuningsih - detikHealth
Dyani dan Aulia (dok. pribadi)
Penyakit ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tak sedikit pasien MG yang menyerah di usia muda karena kurang biaya berobat. Beruntung jika berasal dari keluarga mampu, sehingga penderitanya bisa bertahan dan mencoba untuk hidup senormal mungkin meski sulit.
MG adalah penyakit autoimun, yang artinya sistem imun dalam tubuh yang seharusnya melindungi diri malah berbalik menjadi menyerang organ-organ dalam tubuh terutama sistem sambungan saraf (synaps).
Pada penderita MG, sel antibodi tubuh atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine (ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf lainnya.
Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi, sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan otot.
Terlalu sedih, stres, kelelahan, marah atau terlalu gembira bisa mengakibatkan penderita MG mengalami kekambuhan bahkan sampai mengalami gagal napas karena saraf-saraf napas tidak bisa bergerak seperti yang sering dialami Dyani Gobel.
"Jadi saya nggak boleh terlalu sedih. Dulu karena terlalu sedih dan stres setelah ditinggal almarhum ibu, saya masuk ICU 21 hari. Kalau terlalu gembira saya juga merasa deg-degan," ujar Dyani Gobel (24 tahun) yang divonis menderita MG sejak usia 3 tahun, saat dihubungi detikHealth, Rabu (11/5/2011).
Saat penyakit ini kambuh, Dyani sempat mengalami koma dan harus masuk ICU beberapa kali.
"Saya pernah 2 kali masuk ICU, yang pertama 21 hari dan kedua 38 hari. Itu bahkan sampai koma 4 kali. ICU pertama habis sekitar 98 juta dan yang kedua hampir samalah, sekitar 112 juta," ujar mahasiswi jurusan Hubungan Internasional Universitas Paramadina Jakarta ini.
Pertama kali mengalami gejala penyakit ini, ia dan keluarga tidak mengetahui banyak tentang MG, bahkan dikira keluarganya ia diguna-guna.
"Dulu waktu awal-awal kita belum tahu ini penyakit apa, malah dikira kena guna-guna karena saya ngomongnya jadi pelo (cadel)," jelas gadis kelahiran 13 Mei 1987.
Gejala awal dirinya menderita MG tutur Dyani adalah kelopak mata turun bergantian kanan dan kiri, tapi ketika bangun tidur normal. Dan seiring berjalannya waktu, mata Dyani bahkan tidak bisa melirik.
Gejala kelompak mata turun ini diamini oleh dr Dante Saksono, SpPD, PhD, dari RS Cipto Mangunkusumo dalam tulisan detikHealth.
Gejala yang tampak pada Miastenia Gravis bisa ringan maupun berat. Menurut dr Dante, pada usia di bawah 40 tahun lebih banyak wanita yang menderita MG ketimbang pria. Tetapi untuk penderita di atas usia 50-70 tahun, presentase antara wanita dan pria adalah sama.
dr Dante menuturkan gejala-gejala Miastenia Gravis pada pasien usia produktif antara lain:
- Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)
- Penglihatan ganda
- Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)
- Gangguan menelan
- Gangguan bicara
- Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis), yang biasanya menyerang bayi yang baru lahir
"Dari kecil itu kelopak mata turun dan sempat nggak bisa jalan. Tapi dulu saya belum disuruh minum obat. Saya baru minum obat mestinon waktu umur 16 tahun," jelas Dyani.
Penyakit ini memang susah sembuhnya, si penderita sangat tergantung pada obat-obatan seperti mestinon. Tapi penyakit ini bisa mengalami remisi atau waktu tidak kambuh. Menghindari stres dan kelelahan sangat disarankan agar penyakit ini tak gampang kambuh.
"Kalau saya sekarang sudah mendingan, terakhir rawat inap tahun 2006. Sekarang bahkan dosis mestinon saya cuma 1 kali seminggu yang tadinya sehari 3 kali. Tapi ada teman-teman (penderita MG) yang harus minum obat 8 kali sehari," jelas gadis yang kini tengah sibuk menyelesaikan skripsi.
Mestinon (Pyridostigmine bromide) merupakan obat yang digunakan untuk mengobati kelemahan otot pada orang dengan Miastenia Gravis.
Namun meski hidup dengan Miastenia Gravis, Dyani mengaku tak pernah membatasi aktivitasnya.
"Saya nggak pernah membatasi diri beraktivitas. Masih suka ikut-ikut outbond, bahkan baru-baru ini habis dari Green Canyon (Jawa Barat), ya tapi pulang dari sana saya harus bedrest 2 hari. Tapi kalau untuk snorkeling saya nggak berani karena terakhir snorkeling malah masuk ICU. Yah saya harus tahu kontrol badan saja, jangan sampai terlalu lelah dan stres agar tidak kambuh," jelas Dyani.
Miastenia Gravis juga dialami perempuan asal Bontang, Aulia Yasmin (26 tahun). Ia mengaku divonis MG sejak tahun 2000 saat dirinya masih duduk di bangku SMA.
"Dulu gejala awalnya, waktu saya masih sekolah kan suka naik bus, nah itu sering jatuh kalau mau naik bus. Terus mata kanan kiri turun. Di bawa ke dokter mata, dokternya nggak tahu. Karena kita di Bontang, kita harus ke Samarinda, terus disuruh ke dokter saraf. Dari dokter saraf dikasih mestinon itu, terus jadi enakan, jadi itu awalnya divonis MG," kenang perempuan yang kini aktif bekerja sebagai guru SMP di Bontang.
Lain ceritanya dengan Dyani yang harus minum obat seminggu sekali, Aulia menuturkan bahwa dirinya masih harus minum obat 2-3 kali sehari. Tapi MG yang dideritanya masih tergolong ringan.
"Karena nggak parah, MG saya jarang kambuh. Paling kalau lagi capek kelopak kanan turun. Dulu waktu masih kuliah mungkin karena banyak pikiran sering kambuh, tapi setelah selesai saya pulang ke Kalimantan sudah jarang kambuh," jelas Aulia yang merupakan alumni Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Aulia mengaku sudah menjalani operasi kelenjar thymus di Jakarta. Operasi inilah yang membuatnya jarang mengalami kekambuhan MG dan berkurangnya dosis obat yang harus diminum.
Tapi lain halnya dengan Aulia, Dyani mengaku belum direkomendasikan operasi oleh dokter.
"Saya tidak direkomendasikan operasi oleh dokter. Pertama karena memang biayanya besar, minimal 40 juta. Selain itu kalau operasi, tulang dada harus dipatahin dulu terus baru disambung lagi," jelas Dyani.
Operasi thymus memang merupakan salah satu pengobatan bagi penderita MG. Penyakit ini bisa diobati tergantung kerusakan sistem saraf yang dialami. Pengobatan yang biasa dilakukan yaitu:
- Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi yang menyerang acetylcholine
- Cuci darah atau plasmapheresis, dengan menyaring antibodi dan membuatnya tidak aktif lagi
- Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus dioperasi.
Bentuk Yayasan MG
Penyakit Miastenia Gravis masih tergolong jarang. Aulia yang merupakan salah satu aktifis MG menuturkan di Indonesia ada sekitar 140 orang yang terdeteksi menderita MG.
"Yang saya dapat dari milis (mailing list), Facebook dan Twitter sih ada sekitar 140-an di seluruh Indonesia. Yang terbanyak ada di Jabodetabek, itu juga karena mungkin terdeteksi. Yang lain ada di Bontang, Samarinda, Pontianak, Yogya, Malang, Bangka Belitung, Sumatera, Sulawesi, Bima. Kalau daerah timur seperti Papua mungkin susah dideteksinya ya," jelas Aulia, perempuan kelahiran 25 Januari 1985.
Mengingat besar dan sulitnya mendapatkan obat (mestinon), Aulia dan kawan-kawan sesama penderita MG berkeinginan untuk mendirikan Yayasan Miastenia Gravis Indonesia, yang diharapkan dapat menjadi wadah untuk menggalang dana dan informasi bagi teman-teman yang juga menderita MG.
"Biaya untuk MG kan nggak murah, belum lagi di beberapa daerah susah nyari obat mestinonnya, padahal itu obat satu-satunya dan kita harus minum obat itu. Jadi disitulah kita merasa terpanggil untuk mendirikan yayasan. Tapi karena saldo rekening minimal 20 juta untuk bikin yayasan dan belum cukup, jadi belum bisa. Masih kurang beberapa juta lagi baru kita bisa ke notaris," jelas Aulia.
Aulia menuturkan, untuk obat mestinon saja ia harus mengeluarkan dana Rp 1,2 juta per bulan.
"Itu buat saya yang minumnya 2-3 kali sehari. Ada teman-teman yang sampai 6-8 kali sehari. Belum lagi untuk cuci darah (plasmapheresis) bisa sekitar Rp 15-17 juta, kalau operasi sampai Rp 50 juta," jelas Aulia.
Aulia dan penderita MG lainnya berharap Yayasan Miastenia Gravis Indonesia bisa didirikan segera agar bisa menjadi wadah bagi mereka yang memerlukan.
"Kalau saya sih masih ada orangtua yang membantu, tapi bagi teman-teman yang kurang mampu, biaya pengobatan itu kan berat sekali. Saya harap yayasan ini segera jadi biar mereka yang menderita MG juga tidak merasa sendirian," jelas Aulia.
Jarang sekali penderita MG terdeteksi dengan cepat. Dokter kadang mendiagnosa macam-macam mulai sesak napas, amandel hingga TBC yang membuat susah bernapas.
Penyebab pasti reaksi autoimun atau sel antibodi yang menyerang reseptor acetylcholine belum diketahui. Tapi pada sebagian besar pasien, kerusakan kelenjar thymus menjadi penyebabnya.
Maka itu kebanyakan si penderita akan menjalani operasi thymus. Tapi setelah thymus diangkat juga belum ada jaminan penyakit autoimun ini akan sembuh.
Thymus adalah organ khusus dalam sistem kekebalan yang memproduksi antibodi. Organ ini terus tumbuh pada saat kelahiran hingga pubertas, dan akan menghilang seiring bertambahnya usia.
Tapi pada orang-orang tertentu, kelenjar thymus terus tumbuh dan membesar, bahkan bisa menjadi ganas dan menyebabkan tumor pada kelenjar thymus (thymoma).
Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine.
Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine.
Selain kerusakan kelenjar thymus, dr Dante juga menambahkan faktor lain yang dapat menyebabkan miastenia gravis, seperti penyakit antibodi lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE), rheumatoid arthritis (radang sendi), gangguan tiroid, juga diabetes tipe I.
Tapi menurut dr Dante, faktor risiko yang paling besar adalah genetis. Genetis bisa disebabkan oleh hereditas (turunan) atau bahkan mutasi dari gen yang dibawa oleh diri sendiri.
Neonatal myasthenia (miastenia yang dibawa sejak lahir atau turunan) terjadi pada 12 persen bayi yang dilahirkan oleh wanita yang mengalami miastenia gravis.
Antibodi melawan acetylcholine, yang beredar di dalam darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju janin. Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan otot yang hilang beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir.
(mer/ir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar