Total Tayangan Halaman

Rabu, 03 Agustus 2011

Medicine: Sindrom Guillain Barre

Senin, 01/08/2011 12:01 WIB

Shafa Hidup dengan Ventilator Karena Sindrom Guillain Barre

AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

<p>Your browser does not support iframes.</p>


img
Shafa dan orangtua (dok: detikHealth)
Jakarta, Sindrom langka menyerang Shafa Azalia, balita asal Utan Kayu Jakarta timur. Sudah hampir setahun ia hidup dengan ventilator (alat bantu pernapasan) dan parahnya, tak seorang pun tahu kapan akan sembuh.

Shafa balita perempuan usia 4 tahun 7 bulan menderita Guillain Barre Syndrome (GBS), sindrom langka yang hanya menyerang 1 di antara 40.000 manusia di dunia. Sindrom yang tidak diketahui pasti penyebabnya (diduga infeksi virus) ini bersifat unlimited, alias tidak bisa dipastikan kapan bisa sembuh.

Ayah Shafa, Bapak Zulkarnain mengatakan tidak ada gejala spesifik ketika anaknya pertama kali didiagnosis GBS. Semula Shafa hanya susah menelan, sering lemas dan lama-kelamaan mengalami sesak napas sehingga dokter mengira ada flek di paru-parunya.

Namun perkiraan itu meleset karena hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada kelainan spesifik pada paru-parunya. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada bocah perempuan ini, pada bulan Oktober 2010 ia masuk perawatan di PICU RS St Carolus, Salemba Jakarta.

Setelah ada koordinasi dengan tim ahli di RS Cipto Mangunkusumo, Shafa akhirnya didiagnosis positif menderita GBS dan infeksinya sudah mencapai susunan saraf tepi. Kondisi ini mengharuskan Shafa bernapas dengan ventilator, yakni alat bantu napas yang harus ditanam sedalam 15 cm ke batang tenggorokannya.

"Kata Dokter GBS bisa mematikan hanya dalam beberapa jam. Tapi Shafa sangat kuat karena bisa bertahan 2 hari di Carolus tanpa ventilator sebelum didiagnosis positif GBS," ungkap Zulkarnain saat ditemui di RS St Carolus, Salemba Jakarta, Senin (1/8/2011).

Berbulan-bulan hidup dengan ventilator tentu bukan hal yang mudah bagi Shafa, apalagi keluarganya. Untuk membayar biaya perawatan di PICU, Zulkarnaen mengaku sudah mengeluarkan dana sekitar Rp 300 juta, belum termasuk hutang dan pinjaman yang jumlahnya juga sekitar 300 juta.

Selain Shafa, secara kebetulan kasus GBS juga dialami balita asal Bogor bernama Muhammad Azka Arriziq. Berbeda dengan Shafa yang diagnosisnya terlambat 2 hari, Azka lebih cepat mendapat perawatan di RS Azra, Bogor sehingga peluang sembuhnya lebih besar.

"Peluang sembuh pada kasus GBS sangat tergantung daya tahan tubuh penderitanya. Bisa setahun, atau lebih tidak ada yang tahu. Kalau Azka yang di bogor sepertinya bisa lebih cepat," ungkap Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih saat membesuk Shafa di RS St Carolus, Senin (1/8/2011).

Menkes menambahkan, GBS adalah sindrom langka yang tiap tahun hanya menyerang 1-2 di antara 100.000 oran di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, kasus GBS terakhir yang pernah dilaporkan sudan terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu.

Pada sekitar 60 persen kasus, penyebab GBS tidak pernah diketahui sedangkan 40 persen diduga dipicu oleh infeksi virus atau bakteri. Mirip dengan penyakit Lupus, GBS juga termasuk penyakit autoimun yang menyerang sistem kekebalan tubuh.

(up/ir)

Tidak ada komentar: