Total Tayangan Halaman

Senin, 11 Juli 2011

Ekonomi Pedesaan vs Ekonomi Perkotaan

Akhir-akhir ini banyak wacana tentang TKI yang disiksa, dibunuh, dihukum mati di negara Malaysia, Arab Saudi dan negara-negara yang utamanya ada di jazirah Arab. Saya berpikir apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dan menghapus perginya rakyat Indonesia untuk mencari uang di negara lain. Dalam otak saya, terpikir penyebabnya, karena saya asli orang Ngawi yang notabene "desa" yang hidup di Jakarta yang megapolitan dan pernah hidup di Surabaya yang metropolitan, jadi saya tahu kehidupan di Ngawi yang "mewah" (mepet sawah) dan di Jakarta dan Surabaya (baca: kehidupan desa dan kota). Kehidupan di desa sungguh monoton, mata pencaharian terbatas, dengan mayoritas petani, pedagang pasar, peternak dan penjual jasa seperti tukang bengkel, baik bengkel mobil, motor, atau sepeda dan tukang masak (maksud saya restoran, depot, warung, dll). Sedangkan kehidupan di kota beraneka ragam mata pencaharian bisa ditemui di kota, dari tukang ojek, pekerja kantoran, dokter, insinyur, pengacara, koki, tukang mengemis, tukang mengamen, bahkan tukang palak (^_^). Tetapi mayoritas penduduk Indonesia hidup di desa, dengan hanya 20% saja yang hidup di kota besar, jadi seharusnya agar Indonesia bisa maju, maka ekonomi pedesaan yang utamanya harus dimajukan. Bagaimana cara untuk memajukan ekonomi pedesaan ini? Masalah utama yang sering dihadapi di desa adalah masalah infrastruktur. Masalah ini juga saya temui di Pontianak yang notabene adalah kota terbesar di Kalimantan Barat, tapi ternyata kecil. Infrastruktur jalan raya yang memadai di Kalbar hanya ada di Pontianak sampai Singkawang, selepas daerah tersebut ada jalan beraspal, namun kondisinya memprihatinkan. Sedang di desa-desa di Ngawi kondisinya jarang ada jalan beraspal, jalan raya hanya ada di kota Ngawi dan jalan antarkota-antarprovinsi. Seharusnya infrastruktur pertama yang harus ditangani, karena apabila infrastruktur bagus, maka perekonomian akan dengan sendirinya berkembang tanpa harus distimulus lagi. Kedua, masalah yang ada di desa adalah kurangnya teknologi pertanian. Dengan makin majunya dunia dan manusia, seharusnya teknologi pertanian di desa juga semakin maju, namun yang terjadi tidak seperti itu. Teknologi masih sama seperti beberapa puluh tahun yang lalu, sehingga hasil pertanian stagnan cenderung menurun. Penurunan terjadi karena teknologi yang sudah tua tersebut semakin tua dan rusak. Keadaan lingkungan pun juga menurun karena tanah yang makin rendah unsur haranya. Dari pemberitaan, dari satu hektar tanah di tahun 2010 hanya menghasilkan 2,2 ton pangan, padahal di tahun 1980-an dapat menghasilkan 5,6 ton, turun 3,4 ton, lebih dari 50%, padahal penduduk Indonesia semakin banyak. Dan harga produk pertanian pun semakin jelek, tidak dapat mengikuti tingkat inflasi yang semakin membumbung. Tahun 1960-an, 1 kuintal beras setara dengan 10 gram emas, sedangkan di tahun 2010 1 kuintal beras hanya setara dengan 1 gram emas. Kalau begitu keadaannya, bagaimana petani bisa kaya, harga jual makin turun dan produktivitas per hektar makin turun, sedangkan mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Oleh karena itu, solusi yang bisa diterapkan adalah peningkatan infrastruktur dan peningkatan teknologi pertanian di desa sehingga produksi pertanian dapat makin meningkat dan meningkatkan kesejahteraan petani sehingga anak-anak petani tidak harus menjadi TKI di Malaysia dan Arab untuk disiksa dan dibunuh. Sedangkan selama ini pemerintah Indonesia lebih berpihak kepada ekonomi perkotaan yang ditandai dengan dibangunnya jalan-jalan yang bagus sekali di kota-kota, gedung-gedung yang megah milik pemerintah juga dibangun di kota, sehingga tidak heran kalau penduduk desa berduyun-duyun datang ke kota, karena kesempatan lebih terbuka di kota. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah Indonesia mulai membuka jalan tembus ke desa (baca: infrastruktur) sehingga kesempatan di desa bertambah banyak dan ekonomi masyarakat desa makin bagus yang berakibat ke makmurnya Indonesia.

1 komentar:

omyosa mengatakan...

SUDAHLAH, JANGAN MENGELUH !!!
MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM
KETIKA PANEN TIBA

Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia, NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) , dengan produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an.
Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.

Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.

System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik. Tetapi sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.

Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

Solusi yang lebih praktis dan sangat mungkin dapat diterima oleh masyarakat petani kita dapat kami tawarkan, yaitu:

"BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB SO/AVRON /NASA + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS ( EM16+), DENGAN SISTEM JAJAR LEGOWO".

Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.

Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.

AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!! SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?

CATATAN:
Bagi Anda yang bukan petani, tetapi berkeinginan memakmurkan/mensejahterakan petani sekaligus ikut mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi masyarakat pedesaan, dapat melakukan uji coba secara mandiri system pertanian organik ini pada lahan kecil terbatas di lokasi komunitas petani sebagai contoh (demplot) bagi masyarakat petani dengan tujuan bukan untuk Anda menjadi petani, melainkan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi, yaitu Anda menjadi agen sosial penyebaran informasi pengembangan system pertanian organik diseluruh wilayah Indonesia.

Semoga Indonesia sehat yang dicanangkan pemerintah dapat segera tercapai.

Terimakasih,

Omyosa -- Jakarta Selatan
02137878827; 081310104072